Mafia Tanah Versi Pemberitaan dan versi Kampung Cirapuhan

 Mafia Tanah Versi Pemberitaan dan versi Kampung Cirapuhan , : 

Beriku versi Kampung Cirapuhan :  

https://www.scribd.com/document/917796844/Putusan-Dago-Elos-2016-Lengkap-Analisa-Muhammad-Basuki-Yaman-Warga-Kampung-Cirapuhan

Berikut Berita Mafia Tanah Versi pemberitaan ; 

https://www.kpa.or.id/2024/12/mafia-tanah-tak-kunjung-punah/

33
SHARES
415
VIEWS

Kawasan Dago Elos, Bandung, menjadi saksi perlawanan tak kenal lelah masyarakat atas usaha perebutan tanah kediamannya. Delapan tahun sudah warga bertahan dari ancaman penggusuran, berjuang mempertahankan hak atas tanah mereka yang telah ditempati turun-temurun. Konflik yang awalnya hanya berupa gugatan perdata itu belakangan meluas menjadi simbol perjuangan warga dalam melawan apa yang disebut sebagai “mafia tanah.”

Kelompok Solidaritas Dago Elos, mengawasi betul alur konflik yang perjalanan kasusnya dimulai sejak 2016 itu. Surat panggilan dari Pengadilan Negeri Bandung tiba-tiba datang ke warga, tanpa peringatan, tanpa penjelasan sebelumnya. Penggugatnya adalah tiga orang bersaudara Muller yang mengklaim sebagai ahli waris dari leluhur berkebangsaan Belanda yang disebut-sebut pernah memiliki tanah tersebut. “Saat itu warga bahkan tidak tahu siapa mereka,” ujar Rizki Fauzan, salah satu anggota Forum Solidaritas Dago Elos, kepada insider, Selasa 26 November 2024.

Warga mencoba mencari kebenaran. Namun, bahkan sesepuh kampung yang sudah hidup sejak zaman kolonial di sana pun tak pernah mendengar nama leluhur yang diklaim oleh pihak penggugat. Dari tingkat pertama hingga tahap kasasi, perjalanan hukum tak selalu berpihak pada warga. Meski sempat memenangkan kasasi pada 2020, di tahun 2022 Mahkamah Agung mengabulkan Peninjauan Kembali (PK) yang diajukan penggugat. Dalihnya sederhana: Ada kesalahan pada hakim sebelumnya. Putusan itu menjadi titik balik, warga kehilangan pegangan hukum atas tanah mereka.

Kutipan-01.jpg

Pasca putusan PK, warga dihadapkan pada tekanan yang makin besar. Surat peringatan untuk mengosongkan lahan dikeluarkan oleh Pengadilan Negeri Bandung pada awal 2023. Alih-alih menyerah, warga Dago Elos memutuskan untuk bertahan. Langkah-langkah hukum terus ditempuh, termasuk melaporkan penggugat atas dugaan pemalsuan dokumen. Dari hasil investigasi, ditemukan indikasi bahwa dokumen warisan yang diajukan penggugat sarat dengan kejanggalan. Salah satunya adalah penggunaan dokumen kolonial palsu untuk mengklaim kepemilikan tanah. Penggugat bahkan diduga bekerja sama dengan jaringan lebih besar yang memiliki agenda serupa di wilayah lain.

Perlawanan tidak hanya terjadi di atas berkas-berkas pengadilan. Kehidupan sehari-hari warga terisi oleh serangkaian ancaman. Orang-orang tak dikenal sering datang ke kampung mereka, mengambil foto tanpa izin atau mengajukan pertanyaan mencurigakan. Bahkan ada momen di mana rumah-rumah warga didobrak, kendaraan dirusak, dan beberapa warga ditahan.

Pada 14 Agustus 2023, ketegangan mencapai puncaknya. Setelah upaya warga untuk melaporkan dugaan pemalsuan dokumen kembali ditolak polisi, mereka melakukan aksi blokade jalan di malam hari. Massa menuntut agar laporan mereka diterima. Awalnya, negosiasi berjalan lancar. Polisi berjanji menerima laporan warga jika mereka membuka blokade. Namun, situasi tiba-tiba berubah. Gas air mata ditembakkan ke arah kerumunan warga oleh polisi. Dalam kekacauan, polisi menyerbu masuk ke gang-gang sempit, merusak rumah, dan menangkap tujuh orang. Peristiwa ini meninggalkan trauma mendalam bagi warga Dago Elos, namun juga menyulut tekad mereka untuk terus melawan.

01.jpg
Aksi perjuangan gabungan warga Dago Elos terhadap konflik pertanahan. (Dok. Solidaritas Dago Elos/Riski Fauzan)

Kasus di Dago Elos nyatanya bukanlah yang pertama. Pola serupa ditemukan juga di beberapa daerah lain, di mana mafia tanah memanfaatkan celah hukum terkait tanah eks-kolonial yang belum bersertifikat. Mereka mengajukan gugatan ke pengadilan dengan dokumen yang meragukan, lalu menggunakan jaringan untuk menekan warga agar menyerahkan lahan. Menurut Rizki, modus ini semakin marak karena minimnya literasi masyarakat soal hukum pertanahan. “Banyak warga tidak tahu hak mereka, sehingga mafia tanah ini dengan mudah memanfaatkan situasi,” katanya.

Pointer-02.jpg

Meskipun sertifikat tanah milik 70 keluarga Dago Elos telah diblokir oleh Badan Pertanahan Nasional (BPN), warga tetap berpegang teguh pada tekad mereka untuk bertahan. Sejarah panjang tinggal di tanah tersebut menjadi bukti otentik bahwa mereka adalah pemilik sah. Kolaborasi dengan organisasi solidaritas dan kelompok hukum juga terus dijalin. Selain itu, warga berusaha menggali lebih banyak bukti untuk mengajukan PK baru, dengan harapan keadilan akhirnya bisa ditegakkan. “Bagi kami, ini bukan hanya soal tanah. Ini soal harga diri, soal hak untuk hidup dengan layak di tanah yang sudah kami rawat selama puluhan tahun,” tegas Rizky.

***

Di Kalimantan Utara, belasan tahun lamanya -tepatnya sejak tahun 2011- masyarakat Desa Mangkupadi dan Tanah Kuning, Kecamatan Tanjung Palas Timur, Kabupaten Bulungan harus menelan pil pahit lantaran tanahnya yang sudah bersertifikat hak milik (SHM) coba dirampas oleh perusahaan perkebunan sawit. Menurut warga perebutan itu dilakukan dengan cara menindih SHM menggunakan sertifikat hak guna usaha (HGU). Tanah seluas 13 hektare yang sudah puluhan tahun menjadi tumpuan untuk warga menyambung hidup itu ingin diambil cuma-cuma tanpa menggunakan skema pembebasan lahan.

Warga tak tinggal diam, pada 2012 atau setahun setelah perampasan itu mereka melakukan perlawanan dengan berdemonstrasi serta menyampaikan aspirasi ke DPRD setempat. Hingga pada akhir 2013, warga Mangkupadi menang, tanah yang sudah berstatus SHM sejak 2009 dan ditindih HGU oleh PT. BCAP dikembalikan kepada warga meski tak seluruhnya, karena ada sekitar 5.300 hektare yang masih belum dikembalikan.

02.jpg
Plang nama milik PT KIPI yang ditaruh di kawasan PSN KIHI, Desa Mangkupadi, Kecamatan Tanjung Palas Timur, Kabupaten Bulungan, Kalimantan Utara. (Foto: Istimewa)

Usai lahannya dikembalikan, warga kemudian coba mengurus legalitasnya. Khususnya untuk lahan yang belum berstatus SHM. Ada sebanyak 74 kepala keluarga pemilik lahan yang mengurus legalitas lahannya, hingga pada 2015 sertifikat tanah itu keluar. Namun kebahagiaan warga tak berlangsung lama, warga kembali dihantui kecemasan sebab pada akhir 2015, SHM itu kembali ditarik oleh Badan Pertanahan Nasional (BPN).

Mereka mulanya masih berpikir positif dan mengira ada misinformasi atau miskoordinasi antara PT BCAP dengan BPN. Namun dugaan itu salah, mereka mendengar kabar bahwa penarikan kembali sertifikat mereka oleh BPN ternyata atas permintaan dari PT BCAP. “Permintaan dari PT BCAP karena lahan tersebut [masih dianggap] merupakan wilayah HGU mereka,” kata salah satu warga di sana kepada insider, Minggu, 24 November 2024.

Padahal, kata dia, PT BCAP sudah bersepakat dengan warga soal pengembalian lahan tersebut, bahkan ada dokumen berita acara pengembaliannya secara tertulis. Berita acara itu disimpan dan diarsipkan oleh kepala desa, namun diakui hilang oleh si kepala desa. Warga menduga, kepala desa dan pihak perusahaan sudah bermain mata. “Karena kepala desanya ini yang teridentifikasi dia bagian dari perusahaan,” ujarnya.

Hingga pada 2016 masyarakat mengorganisir dirinya dengan membentuk organisasi Aliansi Desa Menggugat, melalui organisasi ini warga menggalang kekuatan dan melakukan aksi agar hak atas lahannya dikembalikan. Memang belum ada resolusi penyelesaian masalah mengenai HGU, tapi warga akhirnya diperbolehkan untuk menggarap lagi lahan-lahan tersebut meski sertifikat tanahnya masih ditahan BPN.

Menurut narasumber kami, BPN mengambil kembali SHM milik warga dengan cara memaksa, banyak juga warga yang diintimidasi dan diancam dengan hukuman, sehingga banyak di antara mereka yang tidak berani melawan. “Lima orang saja yang enggak sempat menyerahkan kembali [sertifikat tanahnya ke BPN], dia sempat nahan karena orangnya agak keras, tapi beberapa [yang lain] tetap dipaksa diambil SHM nya itu,” tuturnya.

05.jpg
Aksi perjuangan gabungan warga Dago Elos terhadap konflik pertanahan. (Dok. Solidaritas Dago Elos/Riski Fauzan)

Lima tahun setelah warga diperbolehkan menggarap lahannya, mereka kembali dihadapkan pada situasi yang menyesakkan dada. Pada 2021 wilayah itu masuk pada wilayah rencana pembangunan Proyek Strategis Nasional (PSN), pemerintah disebut akan membangun Kawasan Industri Hijau Indonesia (KIHI). Di tahun yang sama, Joko Widodo yang kala itu masih menjabat sebagai Presiden Indonesia, melakukan groundbreaking di proyek tersebut.

Rencananya, ada beberapa kegiatan industri yang akan beroperasi di sana, mulai dari industri petrokimia, industri baja, industri manufaktur polycrystalline atau panel surya, industri aluminium, dan Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU) captive. PSN ini rencananya akan dibangun di atas lahan seluas sekira 30 ribu hektare dan akan mengorbankan setidaknya tiga desa, yakni Mangkupadi, Tanah Kuning, dan Desa Binai.

PSN ini dikelola konsorsium oleh beberapa perusahaan, yakni PT Kalimantan Industrial Park Indonesia (KIPI) yang merupakan anak usaha Adaro Group milik Boy Thohir, lalu PT Indonesia Strategis Industri milik pengusaha Tjandra Limanjaya, dan PT Kayan Patria Propertindo (KPP) milik pengusaha yang menguasai Kaltara, Lauw Juanda Lesmana.

03.jpg
Rumah milik warga yang disegel oleh konsorsium PT KIPI, Dkk atas nama PSN KIHI di desa Mangkupadi, Tanjung Palas Timur, Bulungan, Kalimantan Utara. (Foto: Istimewa)

Nahasnya, lahan SHM milik warga yang ditindih HGU itu justru dijual oleh PT BCAP kepada PT KIPI. Kemudian HGU tersebut diubah menjadi hak guna bangunan (HGB) oleh PT KIPI. Setelah beralih tangan dari PT BCAP ke KIPI dan pembangunan PSN dimulai, penggusuran terhadap warga pun masif terjadi. Perlawanan yang dilakukan warga berujung pada pemenjaraan. Setidaknya ada lima warga yang harus mendekam di balik jeruji besi karena mempertahankan lahan miliknya, mereka dituduh melanggar Undang-Undang Kedaruratan. “[Meski memiliki SHM] tetap digusur, kita punya bukti SHM sama segel, itu tetap digusur bahkan masyarakat melawan itu ada 5 orang sudah dipenjarakan,” tutur sumber itu.

Karena warga masih menolak untuk direlokasi, akhirnya pemerintah setempat mengeluarkan Peraturan Daerah (Perda) soal Nilai Jual Objek Pajak (NJOP). Sebelum adanya Perda tersebut, harga tanah masih berada di kisaran Rp58.000 hingga Rp73.000 per meter, namun setelah muncul Perda harga tanah terjun menjadi Rp5.000 hingga Rp6000 per meter. Lahan pemukiman dihargai Rp6000 sedangkan lahan perkebunan Rp5000. “Jadi seharga sayur gitu,” bebernya.

Narasumber kami menyebut Kapolsek Tanjung Palas Timur, yang kala itu dijabat Iptu H Firman Arifai, turut aktif menawar tanah dengan harga sangat murah. Dia juga disebut sebagai makelar tanah di sana, bahkan disebut sebagai mafia tanah. “Kapolsek saja, dia paling banyak tahu itu karena beliau juga mafia tanah di sana. Beliau banyak kasus, karena tanah warga itu beliau yang negosiasi harga,” ucapnya.

Namun informasi ini dibantah langsung Iptu H Firman, menurutnya, yang terjadi di Mangkupadi dan Tanah Kuning bukan pembebasan lahan atau pengambilan paksa, justru yang ada hanyalah proses pembelian lahan oleh pihak perusahaan. Dia juga membantah terlibat dalam jual beli tanah tersebut, dirinya mengaku tidak punya kepentingan apa-apa atas tanah yang ingin dibeli perusahaan.

Sementara mengenai adanya kabar pengerahan anggotanya dalam upaya pembelian tanah diamini oleh Firman. Tapi, katanya, kegiatan ini dalam rangka pemeliharaan keamanan dan ketertiban masyarakat (Harkamtibmas). “Kalau ada yang mengatakan saya yang memaksa dan dirugikan oleh saya, silahkan suruh lapor, saya tunggu,” kata Firman kepada insider, Senin, 25 November 2024.

04.jpg
Aksi perjuangan gabungan warga Dago Elos terhadap konflik pertanahan. (Dok. Solidaritas Dago Elos/Riski Fauzan)

Firman mengaku sangat siap bertanggung jawab apabila ada warga yang melaporkan dirinya. Selain itu, dia juga membantah bahwa aparat dalam Harkamtibmas itu membawa senjata sehingga membuat masyarakat ketakutan. Meski saat ini Firman sudah tidak lagi menjabat sebagai Kapolsek di Tanjung Palas Timur – karena sudah dipindah ke Polda Kaltara–, namun dia mengaku tetap siap menghadapi laporan terhadap dirinya.

***

Permasalahan konflik agraria dan isu keterlibatan mafia tanah di Indonesia seakan tidak pernah surut. Hal ini juga menjadi fokus kerja Menteri Agraria dan Tata Ruang/Kepala Badan Pertanahan Nasional (ATR/BPN), Nusron Wahid, yang dalam pernyataan pertamanya sebagai menteri bertekad untuk memerangi mafia tanah, baik yang ada di internal lembaganya maupun yang muncul dari pihak luar. Nusron berkata bahwa dirinya langsung yang akan menyerahkan oknum tersebut kepada aparat penegak hukum. Dia juga mengaku sudah mengidentifikasi oknum di ATR/BPN yang turut aktif menjadi mafia tanah.

“Selain faktor internal (pegawai ATR/BPN), ada juga pihak eksternal seperti pemborong tanah dan oknum yang terlibat di elemen-elemen tersebut,” kata Nusron saat Rapat Koordinasi Pencegahan dan Penyelesaian Tindak Pidana Pertanahan 2024 di Grand Mercure Kemayoran, Jakarta, Kamis, 14 November 2024.

Kutipan-02.jpg

Selain menyeret pelaku ke ranah hukum, Nusron juga menyebut pemberantasan mafia tanah dapat dilakukan dengan cara memperbaiki sistem di internal kementeriannya dan meningkatkan integritas sumber daya manusia (SDM) di BPN. Pihaknya juga akan berkolaborasi dengan para penegak hukum dalam upaya pemberantasan ini. “Untuk memberantas mafia tanah, kita perlu memperbaiki sistem internal dan meningkatkan integritas SDM di BPN,” jelas Nusron.

Nusron juga menekankan bahwa pemberantasan mafia tanah memerlukan dukungan dan kolaborasi. Ia pun mengajak Kepolisian, Kejaksaan, Kementerian Pertahanan, Badan Intelijen Negara (BIN) dan Mahkamah Agung untuk bersama-sama menyelesaikan masalah-masalah sengketa pertanahan. “Ini kerja berat yang membutuhkan kolaborasi. Kami tidak bisa bekerja sendiri,” katanya.

Persoalan mafia tanah di Indonesia memang terbilang akut dan pelik. Tentu saja masyarakat akan menyambut baik apabila sebagai Menteri Nusron menyatakan tekadnya untuk memerangi bahkan menyeret mafia tanah ke aparat berwajib dan berhasil melakukannya. Namun, Kepala Departemen Advokasi Kebijakan dan Pengembangan Jaringan Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA) Nasional, Roni Septian Maulana, menilai pernyataan Nusron tersebut hanya sebatas lip service, sebatas janji-janji politik sebagai seorang menteri baru. Karena, ucap Roni, sekalipun punya kemampuan untuk menindak, toh menteri ATR/BPN sebelum-sebelumnya juga tidak mampu menyelesaikan permasalahan ini.

Roni meragukan Nusron punya keberanian untuk menindak apalagi menyeret mafia tanah ke aparat penegak hukum. Pasalnya, praktik mafia tanah tidak hanya dilakukan kalangan bawah, tapi berkelindan di antara para pejabat negara, penegak hukum, tokoh agama, juga notaris. “Misalkan dia mau menertibkan mafia-mafia tanah, katakanlah yang terlibat itu jenderal bintang 2, bintang 3, emang Nusron berani? Atau misalkan ada petinggi-petinggi kepolisian, atau mungkin ada yang terlibat juga di intelijen, emang Nusron berani?” kata Roni kepada insider saat ditemui di kantornya, Jumat, 22 November 2024.

Roni mengungkapkan berbagai modus yang dilakukan oleh mafia tanah, mulai dari pemalsuan dokumen, pemalsuan informasi dasar atas tanah, menerbitkan sertifikat ganda, menerbitkan sertifikat di luar batas luasan yang telah ditentukan, melanggar batas luas maksimum penguasaan dan kepemilikan tanah, hingga mengeluarkan tanah-tanah absentee. KPA sempat membuat laporan mengenai aktor, peran, dan modus mafia tanah. Dalam laporan itu disebutkan, banyak pihak yang menjadi aktor mafia tanah. Aktor pertama dan sekaligus menjadi aktor utama adalah pengusaha dan petinggi pemerintahan, mereka disebut kerap memesan sekaligus memenuhi pesanan tanah untuk mencapai ambisi bisnisnya.

Roni menduga, mantan menteri ATR/BPN dari masa-masa sebelumnya bisa saja terlibat dalam praktik kotor tersebut. Sekalipun tidak terlibat secara langsung tapi ada kemungkinan mereka menerima aliran dana dari bawahannya. “Menteri-menteri sebelumnya pasti. Kan enggak mungkin dirjen-dirjen itu enggak setor,” tuturnya.

Nah, mampukah sekarang Menteri ATR/BPN baru Nusron Wahid menyelesaikan permasalah mafia tanah yang sudah mengakar? Atau tetap saja kita berada dalam keadaan sebelumnya, dimana mafia tanah selalu dirasa susah untuk punah.

Infog-01.jpg

 

Artikel ini telah tayang di inilah.com dengan judul “Mafia Tanah Tak Kunjung Punah”https://www.inilah.com/mafia-tanah-tak-kunjung-punah

Penulis: Hidayat Adhiningrat P., M. Hafid dan Ucha Julistian Mone

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Dago elos bukan Sengketa tanah biasa !

sebenarnya lokasi sengketa tanah dago dimana ?

Perbedaan utama antara analisis Dago Elos dan Kampung Cirapuhan