Keterangan yang berbeda antara klaim publik dan putusan pengadilan dalam konflik Dago elos
Keterangan yang berbeda antara klaim publik dan putusan pengadilan dalam konflik Dago elos . Pada intinya versi kampung Cirapuhan berbeda dengan versi Dago elos
Kasus Dago Elos ada perbedaan versi . menurut satu versi Gugatan muller . Namun versi Warga kampung cirapuhan bukan seperti itu . menurut versi kelompok masyarakat adat Kampung Cirapuhan adalah Kolusi mafia Tanah saling gugat . Jadi Gugatan muller 2016 adalah rekayasa penggugat dengan tergugat utama dan simpatisannya .
tak ada dalam catatan di putusan pengadilan adanya kampung cirapuhan dan atau rw 01 . penggugat menyatakan lokasi di Dago elos pihak tergugat juga mengemukakan rw 02 artinya tanpa kampung cirapuhan dan atau rw 01 . Memang dalam diskusi atau demo objek sengketa di Dago elos dan kampung cirapuhan . namun dalam putusan pengadilan tidak ada kampung cirapuhan , ini indikator rekayasa saling gugat .
Berikut Link versi kampung cirapuhan :
Padahal ada kronologi kasus tanah Dago versi Kampung Cirapuhan :
https://wargakampungcirapuhan.blogspot.com/2025/09/kronologi-kasus-tanah-dago-singkat.html
untuk versi Kampung Cirapuhan bisa baca bagian bawah :
berikut versi jaringan mafia tanah :
- Dalam gugatan perdata yang diajukan keluarga Muller, fokusnya adalah pada objek sengketa yang tertera dalam dokumen hukum mereka, yaitu Eigendom Verponding nomor 3740, 3741, dan 3742, yang totalnya mencakup sekitar 6,3 hektare.
- Putusan pengadilan umumnya merujuk pada deskripsi objek sengketa yang tercantum dalam surat gugatan. Jika penggugat merinci lokasi sebagai "Dago Elos" dan tidak secara eksplisit menyebutkan "Kampung Cirapuhan", maka putusan pengadilan pun akan mengikuti formulasi tersebut.
- Meskipun gugatan awal dari keluarga Muller melalui PT Dago Inti Graha melibatkan 335 warga yang tinggal di Kampung Cirapuhan dan Dago Elos RW 1, RW 2, dan RW 3, putusan pengadilan dapat berfokus pada area-area yang secara spesifik diklaim oleh penggugat, yang mungkin sebagian besar berlokasi di RW lain.
- Sengketa ini telah melewati berbagai tingkatan pengadilan (Pengadilan Negeri, Pengadilan Tinggi, Kasasi, dan Peninjauan Kembali), sehingga rincian di setiap putusan bisa saja berbeda, bergantung pada argumen dan bukti yang diajukan di tingkatan tersebut.
- Beberapa putusan pengadilan tingkat tinggi, seperti Peninjauan Kembali (PK) di Mahkamah Agung, cenderung mengarah pada masalah hukum yang lebih luas dan tidak selalu merinci semua aspek teknis di tingkat lokal. Putusan ini bisa saja memenangkan pihak Muller secara keseluruhan, tanpa perlu merinci per lokasi.
- Pentingnya penguasaan fisik lahan oleh warga sering kali diabaikan oleh hakim dalam putusan PK, yang lebih mengedepankan klaim pewarisan berdasarkan dokumen kolonial yang belakangan terbukti dipalsukan.
- Munculnya berbagai gugatan dari pihak yang berbeda (warga melawan Muller, Muller melawan warga) memang dapat menjadi indikator adanya ketidakberesan dalam proses hukum dan administrasi tanah.
- Namun, perbedaan terminologi antara klaim publik dan isi putusan pengadilan tidak selalu menjadi bukti adanya rekayasa. Bisa jadi, hal itu hanyalah cerminan dari perbedaan fokus antara:
- Narasi publik, yang menekankan identitas lokal dan solidaritas warga (seperti "Kampung Cirapuhan").
- Proses hukum formal, yang harus terikat pada formulasi dokumen-dokumen yang diajukan di pengadilan.
Ketidakhadiran nama Kampung Cirapuhan atau RW 01 dalam putusan pengadilan mungkin disebabkan oleh fokus formal proses hukum pada objek sengketa yang spesifik, yang berbeda dari narasi publik. Meskipun hal ini menimbulkan keraguan tentang transparansi dan keadilan proses hukum, tidak serta-merta menjadi bukti rekayasa saling gugat. Penting untuk melihat seluruh rangkaian persidangan, termasuk putusan-putusan di semua tingkatan, untuk menganalisis sepenuhnya indikasi rekayasa tersebut.
Komentar
Posting Komentar